Tuesday, December 23, 2008

BEN ANDERSON TENTANG HANTU KOMPARASI DAN NASIONALISME DI ASIA TENGGARA

Benedict R,O’G Anderson (selanjutnya disebut Ben Anderson) adalah seorang Indonesianist dari Amerika Serikat yang pendapat dan analisanya kontroversial dan terkesan "nyeleneh". Dalam disertasinya, Revolusi Pemuda, Ben Anderson mempunyai analisa bahwa Revolusi Indonesia adalah revolusinya para pemuda, bukannya milik golongan elite intelektual yang yang telah ter-baratkan seperti yang diungkapakan oleh George McTurnan Kahin. Begitu juga dengan peristiwa G-30-S tahun 1965, Ben Anderson juga berpendapat bahwa itu sebagai revolusi daripada perwira pertama melawan perwira tinggi dalam tubuh TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat), bukannya usaha makar yang dilakukan PKI (Partai Komunis Indonesia). Penyiksaan yang dilakukan terhadap para Jenderal-pun dinilai sebagai omong-kosong belaka, karena tidak ada pembuktian yang meyakinkan tentang penyiksaan yang dilakukan di luar batas perikemanusiaan tersebut. Akibat pendapat atau analisanya terhadap sebuah peristiwa yang terkesan nyeleneh itu, maka Ben Anderson pada masa pemerintahan Orde Baru di-persona-non-grata-kan oleh Pemerintah tahun 1970-an.

     Buku Hantu Komparasi: Nasionalisme, AsiaTenggara dan Dunia, merupakan sebuah kumpulan tulisan Ben Anderson yang diterbitkan pada tahun 1999, dimana berbarengan dengan euforia reformasi setelah lengser ke prabon-nya Soeharto. Isi buku ini tidak secara khusus membicarakan tentang kejatuhan Soeharto, akan tetapi lebih banyak menganalisa tema-tema yang menjadi kompensasi Ben Anderson setelah di-persona-non-grata-kan oleh Pemerintahan Orde Baru, yakni masalah bahasa dan media masa, serta pembentukan nasionalisme dan negara kebangsaan di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara.
    Dengan gayanya yang khas dan simplisit, Ben Anderson mengejek Soeharto sebagai GPK (Gali Pelarian Kemusuk, atau Bromocorah dari Kemusuk, tempat Soeharto dilahirkan di Yogyakarta). Selain itu juga, Ben Anderson membuat prediksi yang tendensius dan emosional, dimana ia memprediksikan tidak akan ada orang yang menangis jika Soeharto meninggal nanti. Studi Ben Anderson dalam buku ini berawal pada tahun 1960-an yang mengkaji tentang etnisitas Jawa yang kemudian diidentikan dengan konsep dunia pewayangan. Konsep kekuasaan (power) yang otoriter merupakan konsekwensi  dari cara dan logika berpikir orang Jawa,  dimana kekuasaan itu harus terpusat dan tak boleh terbagi. Hal ini dibuktikan Ben Anderson dengan dua kepemimpinan orang Jawa (Soekarno dan Soeharto) yang menerapkan sistem pemerintahan yang otoriter.

    Pada taun 1970-an seiring dengan di-persona-non-grata-kan oleh Pemerintah Orde Baru, Ben Anderson mulai mengalihkan perhatiaanya pada gaya wacana (Mode of Discourse) berbahasa dalam kaitannya dengan kekuasaan di Indonesia. Dalam hal ini, Ben Anderson mampu mendemontrasikan secara atraktif pendekatan hermeneutika untuk dapat menangkap meaning behind the line dalam karya sastra dan media masa Indonensia, seperti makna dari karya Pramoedya Ananta Toer ataupun istilah dalam pers Indonesia yang sering menggunakan kata "cahaya" dan "sinar", karikatur, seta pembangunan monumen baik oleh Soekarno maupun Soeharto. Semuanya itu dianalisa oleh Ben Anderson secara menarik dan lugas  dengan memberikan pemahaman baru dan perspektif yang lain.

    Studi Ben Anderson tentang nasionalisme juga berbeda dengan Hans Kohn. Hans Kohn mengemukakan nasionalisme tumbuh dan berkembang karena adanya kemauan bersama untuk bersatu berdasarkan persamaan nasib, bahasa, dan perjalan sejarah. Sedangkan Ben Andersn memberikan persfektif yang lain tentang nasinalisme, Ia mengemukakan bahwa nasionalisme, asal-usul, dan penyebarannya adalah an immagined community yang diciptakan secara keatif oleh elite terpelajar yang berkenalan dengan peradaban Barat dan disebarkan melalui Print Capitalism  baik dalam bentuk pers, pamplet, maupun karya sastra. Dengan demikian, bukan saja nation itu dibayangkan secara masal oleh anggota komunitas yang batas-batas geografisnya jelas menurut warisan kolonial Barat, tetapi juga rasa memiliki dan ingin membangun nation-state yang dibayangkan dan dicita-citakan itu. Dengan perspektif ini, maka kita lebih mudah memahami gejala integrasi dan disintegrasi dengan melihat apakah Immagined Community itu masih dibayangkan dan dicita-citakan secara bersama-sama atau tidak.

     Buku Hantu Kmparasi: Nasionalisme, Asia Tenggara dan Dunia merupakan upaya lanjutan dari bukunya yang terdahulu, Immagined Communities: Reflektion On The Origins and Spead of  Nasionalism. Walaupun dengan kajian yang berbeda, akan tetapi tetap memiliki analisa yang menarik atau "nyeleneh" tersebut. Ben Anderson, mengambil contoh Indonesia, Philipina, dan Thailand sebagai fokus kajian, dimana Ben Anderson mencoba menarik persamaan dan perbedaan ketiga negara tersebut dalam mengembangkan nasionalisme dan membangun nation state-nya. Prestasi yang dapat memperlihatkan keunggulan analisa Ben Anderson ialah karena ia menguasai bahasa yang berkembang di tiga negara tersebut.

    Kata untuk memahami "nasionalisme" di Asia Tenggara dalam kaitannya dengan dunia adalah Hantu Komparasi (The Spectre Of Comparison). Di satu sisi adalah tragis bahwa para elite terdidik yang mengkreasikan nasionalisme di tiga negara yang bertetangga dan jaraknya relatif dekat itu seolah tidak saling menyapa dan berinteraksi. Mereka lebih banyak mengapresiasi dan mengkomparasi nasionalisme di kota-kota pusat satelit kolonial mereka di Eropa ataupun Amerika Serikat yang jaraknya relatif jauh. Namun di sisi lain, cara mereka memahami dan mengkomparasikan nasionalisme itu terlalu simplisit dan dilematis. Seperti Soekarno yang memuji-muji Adolf Hitler dalam mengembangkan nasionalisme tanpa mengkritisi moralitas pemimpin Jerman itu. Hal ini juga diikuti oleh Jose Rizal dari Philipina ketika meresapi nasinalisme setelah perjalanan panjangnya mengelilingi Eropa.

    Soekarno sebagai salah seorang The Founding Father Of Indonesian Nation State, Sering membuat komparasi-komparasi yang sederhana, sehingga hasilnya kurang tepat. Pandangan triloginya tentang nasionalisme di Indonesia, masa lalu yang gemilang, masa sekarang yang suram, dan masa datang yang penuh harapan, merupakan "hantu" bagi kolonial, dan sekaligus menjadi mitos politik yang sukar dihilangkan, seperti mitos tentang Indonesia yang dijajah selama 350 tahun.  Demikian juga yang dilakukan Jose Rizal sebagai founding fathers negara nasional Philipina, ia melakukan komparasi-komparasi dalam memahami nasionalisme mengalami denotatif yang signifikan. Bahkan untuk kasus Jose Rizal lebih tragis lagi, karena karena makna dan pesan yang sejatinya tentang nasionalisme ditulis dalam bahasa Spanyol yang bisa mengeser arti sebenarnya apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris-Amerika.

    Sementar itu, Thailand adalah negara kebangsaan berbentuk monarki yang tak pernah dijajah. Ben Anderson mencatatnya sebagai kecerdikan raja Rama V dan perwira tinggi AD Thailand dalam merespon dan mensiasati persaingan antara kolonial Inggris dan Prancis di Asia.  Yang menarik adalah kenyataan bahwa negara bangsa ini mampu mensinergikan "Raja-Negara-Agama" menjadi sebuah entitas sosial yang kuat dan solid.

    Pola dan struktur yang relatif ajeg dan dinamika perkembangan nasionalisme di tiga negara itu adalah masalah pembunuhan dan huru-hara sosial. Menurut Ben Anderson, Pembunuhan dan huru-hara sosial di Asia Tenggara  sering kali dipandang sebagai ongkos sosial yang harus dibayar bagi kemajuan dan kesatuan bangsa dalam perjalanan sejarahnya. Padahal pembunuhan dan huru-hara sosial di negara Barat bisa dimasukan ke dalam pelanggaran HAM  (Hak Asasi Manusia) yang berat.

    Dalam memahami PEMILU (Pemilihan Umum), ketiga negara di Asia tenggara ini memandang PEMILU sebagai seremonial untuk berpartisipasi tanpa sikap kritis serta jaminan atas hak-hak pribadi serta hak sosial selanjutnya Pemilu hanya formalitas untuk menunjukan adanya representasi rakyat untuk mensyahkan pemerintahan yang ada. Sedangkan di negara-negara Barat, PEMILU merupakan wahana ekpresi dan jaminan hak-hak bagi warga negara.

    Pembahasan tentang pemikiran Ben Anderson yang kontroversi ini menjadi tema yang menarik dan dapat memperluas cakrawala pengetahuan akan pluralisme interprestasi sejarah. Entah itu interprestasi sejarah yang spekulatif baik yang apriori ataupun aposteritori.
    Kecenderungan munculnya sebuah interprestasi adalah sebuah nisbi dalam sejarah,  hal ini terlihat dari pelbagai interprestasi. Seperti Ben Anderson yang berpendapat bahwa Revolusi Indonesia adalah revolusinya para pemuda, bukan merupakan milik golongan elite intektual seperti yang diungkapakan oleh George McTurnan Kahin, atau Revolusi Indonesia adalah revolusinya para bandit seperti yang diungkapakan oleh Robert B. Cribb. 

    Pendapat yang diungkap oleh Ben Anderson tentang Revolusi Indonesia yang merupakan revolusi para pemuda ikut memperbesar mitos besarnya peran pemuda dalam revolusi Indonesia. Akan tetapi,  Onghokham (1999: 246-257) mengemukakan bahwa:
    "Pemuda memerankan peranan penting [...] Namun peran pemuda dalam kedua peristiwa ini terutama sebagai tenaga atau umpan peluru, bila kita tidak pernah menyebut peperangan sebagai suatu perwujudan peran pemuda. Biarpun terdiri dari orang-orang muda yang saling membunuh, maka dalam revolusi kita tidak punya daar untuk menamakannya revolusi pemuda karena partisipasi orang-orang muda".

    Sehingga jelaslah, bahwa di sini terjadi multi-interprestasi yang terjadi, dimana interprestasi dari sejarawan ini bisa saling melengkapi. 
    Adapun pendapat Ben Anderson lainnya, yang kontroversial adalah tentang peristiwa G-30-S 1965, dimana Ben Anderson dengan Cornell Paper-nya berpendapat peristiwa itu adalah sebagai revolusi para perwira pertama melawan perwira tinggi dalam tubuh TNI-AD, bukannya usaha makar dari PKI. Hermawan Sulistyo dalam disertasinya yang mengkaji peristiwa pasca G-30-S 1965 mengemukakan munculnya kesimpulan seperti itu karena penulis menerapkan discountinity approach atas rangkaian suatu kejadian yang relatif terpisah dari berbagai peristiwa sebelumya. Lantaran diperlakukan secara terpisah maka penulis memerlukan suatu kerangka untuk menerangkan rationele dibalik aksi kudeta, dan kerangka kultural  tampak sangat cocok degan pola tindakan.
    Ben Anderson mengangap penyiksaan yang dilakukan terhadap para Jenderal-pun dinilai sebagai omong-kosong belaka, karena tidak ada bukti yang menyakinkan tentang penyiksaan yang dilakukan di luar  batas perikemanusiaan. Analisa ini dipertegas Ben Anderson dalam artikel yang berjudul "Tentang Matinya Para Jenderal", dimana Ia mengemukakan bahwa para ahli forensik tidak menemukan adanya penyiksaan yang di luar batas kewajaran, seperti pencongkelan mata atau pemotongan kemaluan. 

     Buku Hantu Komparasi: Nasionalisme, Asia Tenggara dan Dunia, tidak secara khusus membicarakan jatuhnya Soeharto, akan tetapi lebih banyak menganalisi masalah bahasa dan media masa, serta pembentukan nasionalisme dan negara kebangsaan di Indonesia dan beberapa negara di Asia tenggara tersebut. Dimana dalam masalah pers, Akham Zaini Abar   mengemukakan bahwa lemahnya politik pers pada masa Orde Baru menunjukan kuatnya posisi negara untuk mengabaikan bahkan menolak tuntutan serta kritik masyarakat yang disampaikan oleh pers.
    Ejekan yang dikemukakan oleh Ben Anderson pada Soeharto sebagai GPK (Gali Pelarian Kemusuk atau Bromocorah dari Kemusuk, tempat Soeharto dilahirkan di Yogyakarta) diperkuat oleh pendapat dari Sosiolog, Emile Durkheim yang mengangap bahwa gali (penjahat) dan orang politik tidak banyak bedanya: kedua-duanya ingin mengubah masyarakat dalam arti menentang status-quo  .  Ataupun prediksinya Ben Anderson yang tendensius dan emosional tentang kematian Soeharto  , dinilai sangat berlebihan dan tidak berdasar.

    Ben Anderson yang berpendapat bahwa konsep kekuasaan (power) yang otoriter merupakan konsekwensi dari cara dan logika berpikir orang Jawa, yang memandang bahwa kekuasaan itu harus terpusat dan tak boleh terbagi. Hal ini tampak dari pengamatannya terhadap dua sosok presiden Indonesia (Soekarno dan Soeharto) yang menerapkan sistem pemerintahan yang otoriter.

    Perhatian Ben Anderson pada gaya wacana (Mode of Discourse) berbahasa dengan menggunakan pendekatan hermenetika untuk dapat menangkap meaning behind the line karya sastra dan media masa Indonesia, nampaknya menjadi suatu sumbangan yang berharga, karena dapat memberikan sebuah pemahaman baru dan perspektif yang lain tentang Indonesia.

    Ben Anderson mengemukakan bahwa nasionalisme, asal-usul, dan penyebarannya adalah an immagined community yang diciptakan secara kreatif oleh elite terpelajar yang berkenalan dengan peradaban Barat dan disebarkan melalui Print Capitalism melalui pers, pamplet, maupun karya sastra. Nation itu dibayangkan secara masal oleh anggota komunitas yang batas-batas geografisnya jelas menurut warisan kolonial Barat, tetapi juga rasa memiliki dan ingin membangun nation state yang dibayangkan dan dicita-citakan itu. Dengan perspektif ini, maka kita lebih mudah memahami gejala integrasi dan disintegrasi dengan melihat apakah Immagined Community itu masih dibayangkan dan dicita-citakan secara bersama-sama atau tidak. Dalam pengantar buku Immagined Communities, Daniel Dhakidae memberikan contoh yang menarik, dimana Ia menghubungan konsep nasionalisme Indonesia dengan peristiwa di Aceh (GAM). 

    Dalam Buku Hantu Komparasi: Nasionalisme, Asia, dan Dunia, Ben Anderson mengambil contoh Indonesia, Philipina, dan Thailand untuk menunjukan persamaan dan perbedaan ketiga negara itu dalam mengembangkan nasionalisme dan membangun nation state-nya. Menurut Ben Anderson, untuk memahami "nasionalisme" di Asia Tenggara dalam kaitannya dengan dunia adalah Hantu Komparasi (The Spectre Of Comparison). Ben Anedrson melihat kenyataan bahwa para elite terdidik yang mengkreasikan nasionalisme di tiga negara yang bertetangga dan jaraknya relatif dekat itu tidak saling menyapa dan berinteraksi. Mereka malah lebih banyak mengapresiasi dan mengkomparasi nasionalisme di kota-kota pusat satelit kolonial mereka di Eropa dan amerika Serikat yang jaraknya relatf jauh. Hal ini dapat  dipahami karena mereka (Soekarno ataupun Jose Rizal) yang menganggap bahwa perkembangan nasioalisme di Eropa dan Amerika Serikat sudah dianggap mapan. Tapi jika mereka melakukan komparasi yang sederhana, maka akan timbul kekurang cocokan antara nilai budaya masyarakat Barat dengan masyarakat di Indonesia ataupun Philipina.

    Sementar itu, Thailand adalah negara kebangsaan berbentuk monarki mampu mensinergikan "Raja-Negara-Agama" menjadi entitas sosial yang kuat dan solid. Sedangkan di Indonesia antara kekuatan kaum abangan (nasionalis sekuler) dengan Santri sering terjadi perbedaan konsepsi kekuasaan negara  yang tajam. Hal ini lebih jelasnya diungkapakan oleh M. Alfan Alfian M, ia mengemukakan bahwa kaum santri mengusulkan negara berasaskan Islam dengan menjalankan syariat Islam, sedangkan kaum nasionalis sekuler menolah Islam untuk dijadikan asas negara karena Indonesia merupakan negara yang prular. Pertentangan keduanya sangat jelas terlihat dalam sidang konstituante yang mengalami kemandegan karena imbangnya dua kekuatan tersebut.

    Ben Anderson juga melihat pola dan struktur yang relatif ajeg dalam dinamika perkembangan nasionalisme di tiga negara itu adalah masalah pembunuhan dan huru-hara sosial. Pembunuhan dan huru-hara sosial di Asia Tenggara sering kali dipandang sebagai ongkos sosial yang harus dibayar bagi kemajuan dan kesatuan bangsa dalam perjalanan sejarahnya. Terjadinya pembunuhan ataupun penculikan yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru terhadap aktivis yang dianggap dapat mengganggu stabilitas negara sudah menjadi sesuatau hal yang wajar.
    Ben Anderson juga berpendapat bahwa negara-negara di kawasan Asia Tenggara memandang PEMILU hanyalah sebagai seremonial untuk berpartisipasi tanpa sikap kritis serta jaminan atas hak-hak pribadi serta hak sosial selanjutnya Pemilu hanya formalitas untuk menunjukan adanya representasi rakyat untuk mensyahkan legitimasi pemerintahan yang ada. Pendapat ini senada dengan yang diungkapakan oleh Arbi Sanit,
    "pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih wakil rakyat digandengkan dengan usaha untuk memenangkan Orde Baru. Proses pemilu kearah sasaran politik yang sudah dipastikan, karena itu keseluruhan proses pemilu lebih mendekati  wujud suatu rekayasa ketimbang suatu proses politik yang diliputi oleh kemungkinan-kemungkinan".    

    Dengan demikian kajian yang dilakukan oleh Ben Anderson dalam bukunya Hantu Komparasi: Nasionalisme, Asia Tenggara dan Dunia ini merupakan sebuah buku dengan analisa yang unik dan terkesan nyeleneh ini sangatlah menarik untuk dikaji dan dapat menambah wawasan pengetahuan bagi yang membacanya. Seperti yang diungkap Suwirta dalam penutup artikelnya yang berjudul "Ben Anderson tentang Hantu Komparasi dan Nasionalisme di Asia Tenggara" bahwa dengan membaca Hantu Komparasi-nya Ben Anderson mengandung kesan bahwa dibalik panorama alam Asia Tenggara yang  ergh moii, budayanya yang eksotis dan geliat nasionalismenya yang laksana geliat putri cantik baru bangun dari tidurnya itu, nampaknya masih terdapat banyak misteri, genderewo dan keanehan-keanehan lain di kawasan ini.

    0 comments:


    Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger