Friday, December 26, 2008

REVOLUSI CINA

REVOLUSI di Cina pada tahun 1949 adalah sebuah peristiwa historis yang penting, terutama untuk gerakan radikal di dunia ketiga, termasuk Indonesia. Banyak partai Komunis dan kelompok radikal lainnya yang dilhami oleh teori-teori Mao. Dan "Revolusi Kebudayaan" tahun 1960-an juga menjadi inspirasi untuk gerakan-gerakan mahasiswa kiri sampai kini.

Sayangnya inspirasi ini sangat salah arah. Revolusi yang dipimpin Mao tidak membangun sebuah masyarakat sosialis di mana kaum pekerja sendiri yang menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi, sosial serta politik. Rezim Maois dikuasai oleh birokrasi otoriter, dan perekonomian RRC tidak luput dari logika kapitalis, walaupun perusahaan-perusahaan besar milik negara. Dan akhirnya, setelah Mao meninggal, RRC yang disebut "sosialis" itu mulai menjelma menjadi negara yang berekonomi pasar dan semakin mirip dengan negeri-negeri lain.

Itu bisa terjadi karena pada dasarnya, tujuan-tujuan Mao dan Partai Komunis Cina bukan untuk membangun sosialisme, melainkan untuk membangun ekonomi nasional yang kuat. Kaum buruh dan tani berkali-kali menjadi korban dari upaya ini.

*****

Riwayat Mao dimulai dengan hancurnya gerakan buruh revolusioner Cina. Antara tahun 1925 sampai dengan 1927, kota-kota di Cina mengalami sejumlah pemberontakan buruh yang dipimpin oleh Partai Komunis muda. Pemogokan massa meledak di Hong Kong dan laskar buruh yang bersenjata menguasai jalan-jalan kota Guangzhou. Perjuangan ini mulai di bawah payung gerakan nasionalis, tetapi kemudian berkembang lebih luas menjadi sebuah "revolusi permanen" yang semakin berhaluan sosialis. Namun waktu itu aliran komunis internasional (Komintern) sudah mulai didominasi oleh kebijakan Stalin, bahwa revolusi-revolusi di dunia ketiga harus melalui dua tahapan. Menurut Stalin, revolusi di Cina harus tetap dalam perbatasan "revolusi demokratik" saja. Makanya para komunis Cina disuruh untuk menyerahkan senjata-senjata mereka kepada golongan nasionalis. Mereka patuh; dan kemudian dibantai oleh golongan nasionalis tersebut.

Beberapa satuan komunis di pedesaan bisa bertahan hidup dan mereka berkumpul di pegunungan-pegunungan. Organisasi komunis di perkotaan hampir lenyap sama sekali. Mao menjadi pimpinan dan mengembangkan strategi baru dengan poros ke kelas petani. Pada awal tahun 1930-an para komunis berhasil mendirikan sejumlah "pangkalan merah" di beberapa daerah terpencil. Pemerintah-pemerintah setempat dicap "soviet-soviet", walaupun tidak mirip sama sekali dengan soviet (dewan buruh) demokratis yang muncul waktu revolusi Rusia. "Soviet-soviet" Mao merupakan sebuah kediktatoran militer oleh para tentara komunis, yang memang agak baik hati terhadap kaum tani. Namun ini jauh dari demokrasi revolusioner dalam artian Marxis.

Pangkalan itu diserang lima kali oleh pasukan pemerintah nasionalis, sampai akhirnya para komunis terpaksa harus mundur dari daerah-daerah ini, dengan menempuh perjalanan panjang Long March ke daerah Yenan.

Pada tahun 1931 Jepang menginvasi Cina, dan pemerintah nasionalis yang korup tidak mampu melawan, sehingga kota-kota utama diduduki Jepang. Seusai perjalanan Long March, Mao mennaikan semboyan perlawanan terhadap pendudukan itu. Begitu Jepang kalah dalam perang di kawasan Pasifik dan mulai menarik pasukan dari Cina, tentara komunis bisa mengalahkan tentara Jepang, kemudian merebut kota demi kota dari tangan kaum nasionalis. Pada tahun 1949, Mao dan Partai Komunis sudah menguasai negeri Cina. Kata Mao: "Cina telah bangkit!"

*****

Tetapi siapa yang bangkit? Bukan kelas buruh, dan bukan para penduduk urban pada umumnya. Seperti dipaparkan oleh John Molyneux dalam Mana Tradisi Marxis Yang Sejati?:

"Mao masih mengucapkan sentimen-sentimen tentang ‘peranan pemimpin kaum proletarian’ yang akan membimbing kelas petani. Tetapi sebetulnya, proletariat tidak berperan sama sekali dalam revolusi tahun 1949. Mao bahkan menulis pada tahun itu: ‘Diharap supaya semua buruh dan karyawan di semua bidang akan bekerja terus dan semua perusahaan akan berjalan seperti biasa.’ Maka ‘kepemimpinan proletarian’ hanya bisa berarti kepemimpinan Partai Komunis. Mengingat bahwa jumlah buruh yang ikut partai tersebut hanya sedikit saja, maka ‘pimpinan proletarian hanya berarti "ideologi proletarian", yang sebenarnya merupakan program Stalinis."

Revolusi tahun 1949 biasanya dimengerti sebagai sebuah revolusi petani. Namun bagaimana hubungannya antara kepemimpinan Partai Komunis dan kaum tani dalam sebuah perang gerilya? John Molyneux berargumentasi lebih lanjut:

"Tentara gerilya akan terdiri hampir 100 persen atas orang yang berlatarbelakang petani, namun hanya sebuah minoritias kecil dari kelas petani yang akan ikut berperang. Tentara Mao berjumlah beberapa juta – tetapi itu hanya persentase kecil dari 500 juta petani Cina. Hal ini tidak terhindarkan dalam perang gerilya yang menggunakan taktik 'tabrak lari', dengan pasukan yang selalu berpindah-pindah tempat…"

Sehingga tentara gerilya tidak betul-betul bergabung dengan massa petani dan mentalitasnya menjadi elitis:

"Mentalitas elitis ini sangat menyolok pula dalam perintah-perintah yang diberikan oleh Mao kepada pasukan gerilyawan dalam pergaulan mereka dengan kelas petani: ‘Sopan-santunlah! Tolong mereka sedapat mungkin. Semua benda yang dipinjam harus dikembalikan … Semua benda yang dibeli harus dibayar.’ Perintah-perintah ini membuktikan betapa timpangnya hubungan antara kaum prajurit dan kaum tani. Perintah-perintah tersebut memang sangat diperlukan, karena kondisi-kondisi obyektif senantiasa menggoda para prajurit untuk menghisap dan menindas kaum tani. Sedangkan situasi kelas buruh jauh berbeda. Sulit sekali dibayangkan sebuah organisasi buruh revolusioner yang harus memperingatkan kader-kadernya agar ‘jangan merampok kaum buruh di depan gerbang pabrik’."

Sebenarnya revolusi Maois adalah sebuah revolusi militer-birokratis yang berhaluan nasionalis bukan Marxis. Mao sendiri mengungkapkan pada bulan Juli 1949 bahwa "kebijakan kita kini adalah untuk mengatur kapitalisme, bukan untuk membinasakannya." Beberapa tahun kemudian, dihadapan tekanan imperialisme barat, Mao memang menjalankan perubahan-perubahan yang tampknya "sosialis" dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan besar. Tetapi para manajer lama sering menjadi manajer dalam sistem baru, sedangkan kaum buruh tidak ikut mengurus tempat-tempat kerja. Di pedesaan, kaum tani mengalami nasib yang mirip. Pada hakekatnya rezim ini lebih patut disebut kapitalis negara, karena rakyat pekerja tidak terlibat sama sekali dalam pemerintahan.

*****

Mula-mula pola pembangunan industri di Cina berlangsung menurut model klasik stalinistis yang diterapkan oleh Stalin sendiri pada tahun 1930-an di Uni Soviet. Namun hasil dari pola ini tidak memuaskan kaum penguasa. Walau ekonomi Cina bertumbah pesat, akan tetapi ekonomi-ekonomi barat sedang boom waktu itu, sehingga Cina semakin ketinggalan. Oleh karena itu, rezim menerapkan sebuah kebijakan yang nekad untuk mengejar ketinggalannya, dengan meningkatkan laju eksploitasi terhadap kaum buruh dan tani. Dalam "Lompatan Besar" tahun 1958-1960, rezim menentukan target-target produksi yang ekstrim, dan mengadakan "kampanye-kampanye massa" guna memaksa rakyat pekerja untuk membanting tulang dalam upaya mencapai target-target tersebut. Meskipun para buruh dan tani bekerja sampai kehabisan tenaga, hasilnya belum juga memadai; lantas para pimpinan perusahaan berbohong dan memalsukan data-data produksi.

Akibatnya parah sekali, terutama di pedesaan di mana kaum tani dipaksa untuk masuk komune-komune besar. Komune-komune tersebut digembar-gemborkan sebegai "langkah ke arah komunisme". Sebenarnya sangat mirip dengan "komunisme barak" otoriter yang dikutuk Marx. Hasil panen amat mengecewakan, sampai pada tahun 1961 terjadi paceklik di beberapa daerah dan pemberontakan bersenjata meledak di dua propinsi. Akhirnya pemerintah kalah. "Lompatan Besar" dihentikan, dan kaum tani diajak untuk menjalankan produksi swasta. Mao agak tersisih, dan orang lain menentukan kebijakan ekonomi. Hasil-hasil panen mulai naik lagi, tetapi jurang pemisah antara petani kaya dan petani miskin mulai meningkat pula.

Mao sendiri belum juga kapok. Pada tahun 1965 dia memobilisasi para pendukungnya di bawah panji "Revolusi Kebudayaan". Sekali lagi, "revolusi" tersebut didengungkan sebagai perjuangan "komunis". Sebenarnya Mao hanya ingin menghantam musuh-musuhnya dalam kelas penguasa. Di ibukota Beijing upaya itu berhasil tanpa kekisruhan. Namun di daerah-daerah Mao harus memicu konflik-konflik, dan "Garda Merah" (kelompok-kelompok Maois) turun ke jalan untuk meyerang pihak yang berwenang.

Suasana "revolusioner" memang berkembang di beberapa daerah, karena pihak yang berwenang itu sangat dibenci oleh rakyat. Garda Merah yang terdiri atas pelajar-pelajar menghina bahkan menganiaya para pejabat lokal. Namun kampanye ini dengan cepat sekali melampaui segala batasan. Guru-guru juga dianiaya, dan musium-musium dibakar karena dianggap kebarat-baratan dan dekaden. Kejadian-kejadian ini disertai oleh pengkultusan terhadap Mao sebagai "Sang Surya yang tidak pernah tenggelam". Seperti diungkapkan dalam sebuah perintah kepada para anggota angkatan laut: "Kita harus mematuhi instruksi-instruksi Ketua Mao, bahkan jika instruksi itu tidak kita mengerti."

*****

Akhirnya Mao semakin kehilangan kontrol atas kekisruhan yang disebabkan oleh Revolusi Kebudayaan itu. Para birokrat di daerah-daerah yang merasa terancam membalas dengan mengerahkan "Garda-Garda Merah" sendiri, sampai kelompok-kelompok pelajar saling berhantaman dimana-mana, dan kelas penguasa semakin khawatir bahwa sebuah perang sipil bisa meletus. Lebih parah lagi (di mata mereka), kelas buruh mulai bergerak secara indepen dengan sebuah gelombang aksi mogok. Kemudian muncul satu kelompok yang bersifat Marxis dalam artian aslinya. Kelompok Sheng Wu Lien mengembangkan sebuah analis kritis bahwa rezim Mao bukan sosialis. Dalam sebuah manifesto yang berjudul "Cina Mau Kemana?" mereka berargumentasi bahwa "kontradiksi-kontradiksi sosial yang telah menimbulkan Revolusi Kebudayaan adalah kontradiksi antara kekuasaan borjuasi birokratis baru dengan massa rakyat", sehingga "masyarakat membutuhkan perubahan yang lebih mendasar … [kita harus] menumbangkan borjuasi birokratis dengan menghapuskan aparatus negara lama, dan menjalankan revolusi sosial serta menerapkan tatanan sosial baru…"

Kaum penguasa meresponnya dengan represi kejam. Pemuda-pemudi dibuang ke daerah-daerah terpencil dalam jumlah besar untuk menghancurkan Garda Merah. Ratusan ribu rakyat dibantai di propinsi Guangxi dan beberapa tempat lainnya. Represi itu terjadi atas perintah Mao sendiri, tetapi tahap terakhir Revolusi Kebudayaan ini juga merupakan kekalahan besar buat Mao dan para Maois.

Setelah Mao meninggal, para pendukungnya (termasuk istrinya ) ditangkap dan dihukum. Dan kebijakan ekonomi pemerintah makin lama makin membuka jalan untuk mekanisme pasar, sehingga Cina mulai menempuh "jalan kapitalis" yang selalu dikhawatirkan Mao. Sekali lagi ekonomi pulih kembali; tetapi sekali lagi jurang pemisah antara si miskin dan si kaya menjadi semakin besar. Unsur-unsur sosial yang sama tetap menjadi kelas penguasa, terutama para pejabat partai, negara dan industri. Kelas buruh dan kelas petani terus menjadi kelas tertindas. Sebenarnya, kebijakan pro-pasar ini tidak berarti sebuah peralihan ke kapitalisme. Kapitalisme sudah ada di Cina dari dulu, dalam bentuk kapitalisme negara. Hanya itulah yang dibangun oleh Mao.

0 comments:


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger