Wednesday, December 24, 2008

TEORI SEJARAH?

Dalam disiplin ilmu sejarah, pengertian teori berbeda dengan yang ada dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Kemanusiaan. Teori sejarah (filsafat sejarah kritis) adalah metodologi yakni menyangkut bagaimana upaya menghadirkan masa lalu, kerangka berpikir, konsep yang sifatnya epistemologis. Adapun teori dalam Ilmu-ilmu Sosial adalah hubungan antar gejala yang sudah dikukuhkan melalui serangkaian pengujian.
Pertanyaan di atas sebenarnya lanjutan dari pengakuan bahwa sejarah adalah sebuah ilmu. Dan sampai saat ini, ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan (knowledge) yang tersusun secara sistematik (systhematic) yang selalu dapat diperiksa dan ditelaah (verifikatif maupun falsifikatif) secara kritis oleh orang lain yang ingin mengetahuinya. Artinya di dalam ilmu pengetahuan itu terdapat teori (pola, aforisme, mekanisme, deduksi, induksi dst. yang didasarkan pada “kesepakatan”). So, sejarah yang diklaim sebagai ilmu haruslah mempunyai teori dalam pengertian tersebut.
Ya, sejak diperkenalkan oleh Pak Sartono sejarah sebagai rekonstruksi masa lalu tak ada bedanya dengan ilmu sosial lain yang merekonstruksi kondisi sosial saat ini. Bedanya, yang satu merekonstruksi the past, yang lainnya the present. Nah dalam merekonstruksi itu maka kita bertanya; bagaimana kita bisa mengetahui masa lalu? Ya, dari trace yang ditinggalkannya. Jejak itu bisa sesuatu yang sifatnya fisik atau non-fisik, tulisan, bangunan, cerita seseorang (keberlisanan), atau wacana yang berupa cara bersikap seseorang (pada saat ini), cara berpikir dan bertingkah laku. Jadi, menulis masa lalu berdasarkan masa kini (ini kajiannya post-kolonialitas), sedangkan ilmu sosial yang memberi back ground sejarah, adalah menulis masa kini berdasarkan masa lalu.
Setelah kita punya bekal “trace” itu, barulah kita memulai mengkonstruksikannya menjadi sebuah “keutuhan” masa lalu; yang terdiri dari kisahan (narasi) dan penjelasan (eksplanasi, dan inilah sebenarnya yang menjadi tugas seorang ilmuwan, yakni menjelaskan!). Narasi berupa rentangan (diakroni) cerita dari satu saat menuju masa. Sedangkan dalam eksplanasi, seseorang bisa saja menjelaskan suatu peristiwa secara common sense, atau dengan “kebenaran yang diyakini” tanpa menyebutnya sebagai “teori”. Seperti yang dilakukan oleh penulis-penulis berabad-abad silam; pujangga, petualang, dst itu. Karena kecenderungan “menjelaskan” setua umurnya dengan keinginan untuk “menceritakan”, suatu hal yang tidak terhindarkan. Melalui pendekatan ilmu-ilmu sosial, sejarah melakukan eksplanasi. Jadi, peminjaman teori ilmu sosial oleh sejarah harus diakui. Dalam semangat lintas batas ilmu sosial, hal semacam ini justru disarankan (Memangnya ilmu itu apa sih, aurat yang tak boleh dibagikan ke orang lain? Awas, berbagi kelamin adalah Haram Mugholadhoh!)
Namunmasih saja banyak orang yang mereplikasi pertanyaannya tentang hal itu, sebab, pertama, ia tidak mempertanyakan secara lebih luas apa yang dimaksud dengan science, knowledge, theory, dan seterusnya itu. Lalu, apakah sejarah harus mempunyai teori, yaitu a set of properly argued ideas intended to explain facts or events, sekumpulan ide-ide yang diargumentasikan secara layak untuk menjelaskan fakta atau peristiwa. Pada ujungnya kita juga bisa menggugat, apakah sejarah itu suatu ilmu? Padahal, dengan menempatkannya sebagai ilmu, sejarah direnggut dari public domain menjadi some academic matter, dan ini adalah milik ilmuwan saja. Di sinilah kita mengenal istilah “ilmuwan berada di atas menara gading”, karyanya dimengerti oleh kelompoknya belaka. Bandingkan “masa-masa” ketika sejarah adalah cerita kepahlawanan dan semangat perlawanan yang didendangkan dalam lagu nina bobo seperti lagu “Dododaidi” di Aceh misalnya, nini atau kakek yang mendongeng pada cucunya tentang kepindahannya ke kota-desa, cerita-cerita daerah yang dikemas dalam buku tipis buram yang dijual di bis-kereta, atau kisah tentang sebuah tempat yang disajikan dalam brosur pariwisata. Tidakkah semua itu memenuhi syarat sebagai sejarah? Kalau tidak, dari sisi mana?
Kedua, masih berkaitan dengan hal di atas, ketika muncul tuntutan sejarah harus mempunyai teori tersendiri yang berbeda dari ilmu sosial yang lain, di lain pihak ilmu sosial sendiri di ambang kemacetannya, itulah tuduhannya. Nah, ilmuwan-ilmuwan yang mempunyai tugas menjelaskan itu (kepada khalayak, yang lebih pasti adalah kepada komunitasnya sendiri) seringkali terjebak pada sisi eruditifnya, bukan pada transformasinya. Atau sering disebut sebagai, (dalam hal ini adalah sejarah) mengalami “scientification” yang akut. Di sinilah ia mengalami kemacetan, tatkala tak mampu menjelaskan kondisi masyarakat, justru sebaliknya menghamba pada modal dan kekuasaan. Kita bisa melihat ilmuwan yang tidak mempunyai (berkecenderungan) pengalaman aktivis gerakan sosial, mengasumsikan bahwa ilmu bersifat obyektif. Mereka cenderung menjadi kaum modernis, meski tanpa bersetuju dengan developmentalisme.
Bagaimana menempatkan unsure “empati” dalam kajian sejarah? Sisi “empati” sejarawan dalam historiografi sejarah kekerasan di Indonesia, sering diartikan atau dipersamakan dengan subyektifitas. Kalau maksudnya adalah mengalih-kondisikan (teori) “yang di sana” untuk diterapkan “di sini”, bukan obyektif namanya, tapi ngawur! Dan, apa salahnya dengan subyektifitas, sebagai kadar tertentu dari perspektif atau keberpihakan? Dengan berempati bukan berarti kita kehilangan sikap kritis kan? Empati adalah sebuah keberpihakan, dengan demikian ilmu seharusnyalah berpihak pada tingkatan visinya, dan metode amupun metodologinya, mau tidak mau merepresentasikannya. Maka yang tepat adalah Apa Visi Sejarah, bukan pertanyaan apakah sejarah punya teori? Bila masih hal terakhir yang ditanyakan, maka, maka, maka blunder belaka pikirannya, hehehe…..
Ketiga, sebenarnya tidak benar kalau sejarah tidak punya teori. Kita sudah sepakat bahwa ruang lingkup sejarah adalah masa lalu. Untuk bisa mengetahuinya, yang dapat kita andalkan adalah bukti yang ditinggalkannya. Pertanyaannya adalah, sudahkah kita optimalkan verifikasi atau falsifikasi kita terhadap bukti itu, sampai dengan kita yakin untuk menggunakannya? Alih-alih teori sejarah, jangan-jangan persoalannya adalah pada bukti dari masa lalu itu (how to gain the past). Jadi, problemnya terletak pada mendapatkan sumber, lalu melakukan kritik sumber dari sisi otensitas maupun validitasnya. Kita tidak pernah memperdebatkannya, seakan-akan kita menerima begitu saja sumber itu sebagai kebenaran.
Sesedarhana inikah persoalannya? Mungkin! Bila kita mengafirmasi problem itu, maka persoalan sejarah adalah seperti yang terjadi di kajian arkeologi, bukan kendala-kendala di kajian ilmu sosial. So, teori sejarah hakekatnya adalah “skill” terhadap kritik sumber. Sehingga mempertanyakan teori sejarah adalah sebuah kemewahan, juga suatu kegagahan yang rapuh

0 comments:


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger